kerajaan Alu

Alu, sebuah desa di kecamatan Alu, kabupaten Polewali Mandar, adalah salah satu tempat yang baru-baru ini kami kunjungi, menemani beberapa kawan dari "Komunitas Penggiat Budaya Dan Wisata Mandar" KOMPA DANSA MANDAR saat kembali menjejaki kebesaran sejarah Kerajaan Alu, salah satu dari tiga kelompok kerajaan lokal yang kemudian menyusun konfederasi kerajaan-kerajaan lokal di daerah Mandar (Pitu Ulunna Salu, Pitu Baqbana Binanga, Mammulana Tiparittiqna Uwai). Desa ini secara topografis terletak dibalik gunung dan bukit yang tinggi, jauh dari pesisir pantai dan merupakan bagian awal hulu sungai Mandar. Untuk menuju desa ini dari wilayah kecamatan Tinambung anda akan melalui wilayah kec. Limboro dan kec. Alu setelah itu anda akan menemui desa Mombi, kelurahan Peto’osang dan desa Alu.
pesona alam desa alu polewali mandar
Pesona Alam Desa Alu Kab. Polewali Mandar (Foto : Pusvawirna Natalia Muchtar)
Akses menuju desa Alu saat ini lumayan mudah, saat masuk tapal batas kec. Alu anda akan disuguhi jalan aspal yang pinggirannya kadang berlubang, memasuki wilayah Petoosang dengan jalan aspal cukup halus dan menjelang melintasi beberapa pegunungan anda akan disuguhi jalan aspal dengan batu kerikil berukuran sedang yang mulai lepas, setelah itu jalan beton hingga desa Alu akan menemani anda hingga akhir tujuan. Alu secara umum terletak jauh dari pesisir pantai, berada dibalik gunung dan bukit yang cukup tinggi.
Membincang sedikit soal sejarah, Alu dahulu merupakan wilayah kerajaan yang masuk dalam kelompok “Mammulana Tiparittiqna Uwai” bersama dengan kerajaan Tuqbi dan Taramanu. Jika dilihat secara geografis maka tiga wilayah kerajaan ini memang berada dalam daerah yang berdekatan. Saat ini wilayah kerajaan Alu dapat ditemui di Desa Alu, kec. Alu sementara wilayah Tuqbi dan Taramanu dapat ditemui di wilayah Kec. Tutar kab. Polewali Mandar. Jejak-jejak tiga kerajaan lokal yang berada di pegunungan (Alu, Tuqbi, dan Taramanu) saat ini mulai memudar seiring dengan perkembangan zaman, namun kita masih bisa menjejaki beberapa peninggalan-peninggalannya, misalnya di kec. Alu kita masih bisa menemukan kompleks makam Kacoq Puang "Ammana Pattolawali" pahlawan terkenal suku Mandar yang masih saudara kandung dari "Ammana I Wewang" Arajang Alu dan Maraqdia Malolo kerajaan Balanipa saat posisi Raja Balanipa dijabat oleh "Tokape". Kedua pahlawan besar Mandar ini adalah putra asli Alu. Ammana Pattolawali dimakamkan di desa Alu, sementara Ammana I Wewang dimakamkan di Kec. Limboro.
kompleks makam ammana pattolawali alu polewali mandar
Kompleks Makam Ammana Pattolawali di Desa Alu Kec. Alu Kab. Polewali Mandar
Jejak-jejak lain yang masih dapat ditemukan adalah beberapa peninggalan masa kerajaan yang masih bisa dilihat secara fisik seperti misalnya (gong kerajaan, keris pusaka).  Saat ini semua peninggalan dipegang oleh pihak lembaga Hadat kerajaan Alu (lokasinya sekitar 5 km dari desa Alu). Cerita unik seputar pusaka peninggalan Alu adalah pada Gong kerajaan. Beberapa tahun yang lalu Gong ini sempat dicuri oleh sekelompok pemuda yang tidak bertanggung jawab. Ia tidak dijual melainkan digadaikan pada orang diluar Alu, dengan alasan untuk mendapatkan uang. Alasan para pencuri menggadaikan, adalah agar jika kelak ada yang mencari gong ini maka orang-orang Alu masih akan dapat menebusnya. Tak tahu seperti apa cerita jelasnya namun akhirnya sang pencuri mengembalikan sendiri gong kerajaan ini ke tangan dewan adat kerajaan Alu, mereka menemukan beberapa keanehan dari gong ini. Wajar memang, kadang terdapat cerita-cerita mistis dibalik benda-benda pusaka yang berumur ratusan tahun. Benda pusaka (gong) ini beberapa waktu yang lalu sempat dibawa dan dipertunjukkan pada saat Pawai Budaya beberapa tahun yang lalu di Kab. Polewali Mandar. Satu yang menjadi catatan khusus bahwa Gong ini hanya akan dibawa oleh orang-orang yang berasal dari “Kalumammang” satu daerah dalam wilayah kerajaan Alu (sembilan kali menyeberangi sungai kecil dari desa Alu) dimana nenek-nenek moyang mereka dahulu sudah menjadi petugas pembawa gong.
Dalam literatur sejarah Mandar kerajaan Alu mungkin tidak banyak disebutkan, dominasi kerajaan-kerajaan besar seperti Balanipa dan kerajaan lain di Pitu Baqbana Binanga menjadikan Alu menjadi terpinggirkan. Posisi kerajaan Alu dahulu menurut pejabat sementara Paqbicara Kaiyyang Alu adalah sebagai pelengkap, jika Pitu Ulunna Salu kurang maka Alu lah yang akan menggenapi jika Pitu Baqbana Binang kurang maka Alu pulalah yang akan menggenapi. Satu hal yang unik pula dari kerajaan Alu adalah salah satu tradisi kebangsawanan atau keningratan raja-raja dahulu adalah bahwa seorang raja di Mandar akan mendapatkan kawalan dengan menggunakan payung kerajaan, maka jika seorang Maraqdia Balanipa yang notabene dianggap “Bapak” atau “Kamaq” di Pitu Baqbana Binanga memasuki wilayah Alu maka tidak diperkenankan menggunakan payung kebesarannya.
Mengenai silsilah dan aturan-aturan adat yang ada di wilayah Alu saat ini dipegang oleh satu orang yang disebut sebagai pucuk pimpinan adat yang lokasinya disebutkan berada di atas pegunungan desa Alu “iyapa na diang adaq muaq iya rio diaya tomawuweng maqanna” adat ada jika orang tua tersebut yang meletakkannya. Fungsi pucuk pimpinan adat kemudian adalah melakukan seleksi terhadap orang-orang yang sekiranya mampu mengemban tugas sebagai pejabat dalam wilayah kerajaan Alu. Selain itu terdapat seorang lagi yang berfungsi untuk mengesahkan “sokkoq” “andangi assa sokkoq muaq tania ia mappesokkoqi”. Tidak sah kemudian sokkoq jika bukan ia yang massokkoqi. Dalam struktur kerajaan Balanipa dikenal istilah sokkoq yaitu dewan adat yang terdiri dari beberapa wilayah, maka seperti ini pulalah struktur kerajaan di Alu.
Satu hal yang kemudian kami tangkap dari karakter orang-orang Alu adalah mereka cenderung berwatak keras, berani dan memiliki cerita heroisme yang tinggi. Sejarah membuktikan siapa Maraqdia Malolo kerajaan Balanipa saat Arajang dijabat oleh “Tokape”, ia adalah Caloq Ammana Wewang, yang pada masa itu juga diangkat sebagai Arajang (raja) Alu. Ammana Wewang disamping menjabat sebagai raja Alu juga menjabat sebagai panglima kerajaan Balanipa “Maraqdia Malolo” yang sempat membakar tangsi militer Belanda di wilayah Majene. Saudara kandung, adik Ammana Wewang yaitu Kacoq Puang Ammana Pattolawali juga menjabat posisi yang sama dengan kakaknya sebagai panglima kerajaan “Maraqdia Malolo Banggae” dan “Maraqdia Malolo Pamboang. Kedua putra asli Alu inilah yang menggemparkan wilayah Mandar waktu itu dengan mengerahkan pasukan dan melakukan pendudukan atas wilayah Majene yang dikuasai oleh Belanda.
Ada cerita unik dibalik kematian Ammana Pattolawali dan penangkapan Ammana I Wewang, keduanya punya cerita aneh. Kacoq Puang Ammana Pattolawali gugur di Betteng Galung wilayah kerajaan Pamboang saat duel dengan seorang Obos Belanda (menggunakan topi dengan strep yang berwarna kuning emas). Ammana Pattolawali gugur tanpa luka, kebal terhadap benda-benda tajam semisal peluru, ia kemudian berpulang saat serdadu Belanda mematahkan kedua lengannya, menariknya hingga lepas dari tubuhnya. Menurut penuturan dari pejabat sementara Paqbicara Kaiyyang saat ini “kaqbali Ammana Pattolawali, mate di reppoq di tia” Ammana Pattolawali sebenarnya kebal, ia mati karena tubuhnya dipatahkan. (Syaiful Sinrang, 1980)
makam ammana pattolawali desa alu polewali mandar
Makam Ammana Pattolawali di desa Alu Kec. Alu Kab. Polewali Mandar 
Sama dengan cerita penangkapan saudara kandungnya Ammana I Wewang dengan alasan intrik dalam kerajaan Balanipa, karena ia dikenal kebal dan tahan terhadap peluru dan benda tajam Belanda menggunakan cara dengan mempengaruhi pihak yang terdekat dengannya yaitu tukang pijatnya dengan iming-iming sejumlah uang yang akan dibayarkan jika berhasil menangkapnya. Awalnya ia sulit ditangkap karena lokasinya yang tidak pernah terdeteksi oleh Belanda (ia menggunakan teknik gerilya, pasca ditangkapnya Maraqdia Balanipa Tokape). Orang terdekatnya inilah yang kemudian memberitahukan dimana tempat persembunyian Ammana Wewang. Saat ia sedang beristirahat maka pihak serdadu Belanda menggunakan bambu dan tali ijuk untuk mengikat dan membawanya ke Majene. Ia kemudian sempat diasingkan ke pulau Belitung dan mendapat gelar “Topole Di Balitung”, makamnya saat ini dapat dijumpai di halaman masjid desa Limboro Kab. Polewali Mandar. (Muhammad Ridwan Alimuddin, 2011)
Saat berkunjung ke desa Alu kami sempat berziarah ke kompleks makam Ammana Pattolawali dan sedikit berbincang dengan wakil dari Paqbicara Kaiyyang Arajang Alu, sempat bertanya soal struktur terkini kerajaan Alu yang masih ada. Alu saat ini memiliki struktur dengan seorang Arajang, seorang Maraqdia Malolo, dan Maraqdia Matoa yang masih dalam prosesi pemilihan (beberapa waktu yang lalu Maraqdia Matoa wafat), sementara itu struktur adat yang terdiri dari beberapa wilayah dipimpin oleh seorang pucuk pimpinan adat dan seorang yang melakukan pengesahan “sokkoq”. Saat mengakhiri kunjungan dan berpamitan pada wakil Paqbicara Kaiyyang kami sempat bertanya mengenai kekosongan posisi Maraqdia Matoa, dan menurut beliau prinsip yang digunakan dalam pemilihan Maragqdia Matoa Alu berikutnya adalah :“Da pappimile tomoka leqbaq, da too pappimile to meloq leqbaq” jangan memilih orang yang sangat menolak, jangan pula memilih orang yang sangat ingin.
Pesan moral yang sangat berarti diatas dapat kita jadikan potret dalam memilih pemimpin hari ini. Belajar sejarah dan nilai-nilai adat tidak kemudian melulu menjadi begitu bersikap cenderung pada sifat mengagungkan suku sendiri, tapi lebih pada eksplorasi nilai budaya dan moral. Prinsip diatas dapat dijadikan pertimbangan dan cerminan keseimbangan pada sikap untuk memilih pemimpin yang tepat tidak kemudian ambisius dan tidak pula oportunis

ref:http://kpbwm.or.id/sejarah/alu-dalam-potret-sejarah-mandar-dan-pesan-kepemimpinan.html
Load disqus comments

0 komentar